Selasa, 01 Juni 2010
Sejarah Asuransi
SEJARAH ASURANSI
1. Sebelum Masehi
Pada jaman Yunani di bawah kekuasaan Alexander The Great (365-323) seorang pembantunya yang bernama Antimenes memerlukan uang yang sangat banyak guna membiayai pemerintahannya pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang tersebut Antimenes mengumumkan kepada para pemilik budak belian supaya mendaftarkan budak-budaknya dan membayar sejumlah uang tiap tahun kepada Antimenes. Sebagai imbalannya, Antimenes menjanjikan kepada mereka jika ada budak yang melarikan diri, maka dia akan memerintahkan supaya budak itu ditangkap, atau jika tidak ditangkap, dibayar dengan sejumlah uang sebagai gantinya.
Apabila ditelaah dengan teliti, uang yang diterima oleh Antimenes dari pemilik budak itu adalah semacam premi yang diterima dari tertanggung. Pada jaman Yunani banyak juga orang yang meminjamkan sejumlah uang kepada pemerintah kota praja dengan janji bahwa pemilik uang tersebut diberi bunga setiap bulan sampai wafatnya diberi bantuan biaya penguburan. Apabila ditelaah dengan teliti, uang yang diterima oleh Antimenes dari pemilik budak itu adalah semacam premi yang diterima dari tertanggung
2. Abad Pertengahan
Peristiwa-peristiwa hukum yang telah diuraikan di atas terus berkembang pada abad pertengahan. Di Inggris sekelompok orang yang mempunyai profesi sejenis membentuk 1 (satu) perkumpulan yang disebut gilde akan memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana gilde yang terkumpul dari anggota-anggota. Perjanjian ini banyak terjadi pada abad ke-9 dan mirip dengan asuransi kebakaran.
Bentuk perjanjian seperti ini lebih lanjut berkembang di Denmark, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya sampai pada abad ke-12. Pada abad ke-13 dan abad ke-14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat. Untuk kepentingan perjalanan melalui laut, pemilik kapal meminjam sejumlah uang dari pemilik uang dengan bunga
tertentu, sedangkan kapal dan barang muatannya dijadikan jaminan. Dengan ketentuan, apabila kapal dan barang muatannya rusak atau tenggelam, uang dan bunganya tidak usah dibayar kembali
Akan tetapi, apabila kapal dan barang muatannya tiba dengan selamat di tempat tujuan, uang yang dipinjam itu dikembalikan ditambah dengan bunganya. Ini disebut bodemerij. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bunga yang dibayar itu seolah-olah berfungsi sebagai premi. Sedangkan pemilik uang berfungsi sebagai pihak yang menanggung risiko kehilangan uang dalam hal terjadi bahaya yang menimbulkan kerugian. Jadi, uang hilang itu dianggap seolah-olah sebagai ganti kerugian kepada pemilik kapal dan barang muatannya. Karena ada larangan menarik bunga oleh Agama Nasrani yang dianggap sebagai riba, maka pola perjanjian tersebut diubah. Dalam perjanjian peminjaman uang itu, pemberi pinjaman tidak perlu memberikan sejumlah uang lebih dahulu kepada pemilik kapal dan barang muatannya, tetapi setelah benar-benar terjadi bahaya yang menimpa kapal dan barang muatannya, barulah dapat diberikan sejumlah uang. Namun, pada permulaan berlayar pemilik kapal dan barang muatannya perlu menyetor sejumlah uang kepada pemberi pinjaman sebagai pihak yang menanggung. Demikianlah permulaan perkembangan asuransi kerugian pada pengangkutan laut. Asuransi ini berkembang pesat terutama di negara-negara pantai (coastal countries), seperti Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Denmark, dan lain-lain
3. Sesudah Abad Pertengahan
Sesudah abad pertengahan bidang asuransi laut dan asuransi kebakaran mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di negara-negara Eropa Barat, seperti di Inggris pada abad ke-17, kemudian di Prancis pada abad ke-18, dan terus ke negeri Belanda. Perkembangan pesat asuransi laut di negara-negara tersebut dapat dimaklumi karena negara-negara tersebut dapat dimaklumi karena negara-negara tersebut banyak berlayar melalui laut dari dan ke negara-negara seberang laut (overseas countries) terutama daerah-daerah jajahan mereka. Pada waktu pembentukan Code de Commerce Prancis pada awal abad ke-19, asuransi laut dimaksukkan dalam kodifikasi. Pada waktu pembentukan wetboek van koophandel Nederland, di samping asuransi laut dimaksukkan juga asuransi kebakaran, asuransi hasil panen, dan asuransi jiwa. Sementara di Inggris, asuransi laut diatur secara khusus dalam Undang-undang Asuransi Laut (Marine Insurance Act) yang dibentuk pada tahun 1906. Berdasarkan asas konkordasi, wetboek van koophandel Nederland diberlakukan pula di Hindia Belanda melalui Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847.
4. Abad Ilmu dan Teknologi
Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat pada abad ke-20 berdampak positif pada perkembangan usaha bidang perasuransian. Kegiatan usaha tidak hanya bidang asuransi, tetapi juga bidang penunjang asuransi. Perkembangan bidang prasarana transportasi sampai daerah pelosok mendorong perkembangan sarana transportasi darat, laut, dan udara serta meningkatkan mobilitas penumpang dari suatu daerah ke daerah bahkan negara lain. Perkembangan di bidang ekonomi ditandai oleh munculnya perusahaan-perusahaan besar yang memerlukan banyak modal melalui kredit bangunan kantor, tenaga kerja yang membutuhkan jaminan perlindungan dari ancaman bahaya kemacetan, kebakaran, dan kecelakaan kerja.
Hal ini mendorong perkembangan asuransi kredit, asuransi kebakaran, dan asuransi tenaga kerja. Perkembangan di bidang teknologi satelit komunikasi juga memerlukan perlindungan dari ancaman kegagalan peluncuran dan berfungsinya satelit, sehingga perlu diasuransikan. Hal ini pernah terjadi ketika Indonesia meluncurkan satelit Palapa B2 yang gagal masuk garis orbit. Karena kegagalan tersebut, Indonesia mengklaim dan mendapat ganti kerugian dari perusahaan asuransi yang bersangkutan.
Perkembangan usaha perasuransian mengikuti perkembangan ekonomi masyarakat. Makin tinggi pendapatan per kapita masyarakat, makin mampu masyarakat memiliki harta kekayaan dan makin dibutuhkan pula perlindungan keselamatannya dari ancaman bahaya. Karena pendapatan masyarakat meningkat, maka kemampuan membayar premi asuransi juga meningkat. Dengan demikian, usaha perasuransian juga berkembang. Kini banyak sekali jenis asuransi yang berkembang dalam masyarakat yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan asuransi sosial yang diatur dalam berbagai undang-undang. Khusus mengenai asuransi sosial bukan didasarkan pada perjanjian, melainkan diatur dengan undang-undang sebagai asuransi wajib (compulsory insurance).
1. Sebelum Masehi
Pada jaman Yunani di bawah kekuasaan Alexander The Great (365-323) seorang pembantunya yang bernama Antimenes memerlukan uang yang sangat banyak guna membiayai pemerintahannya pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang tersebut Antimenes mengumumkan kepada para pemilik budak belian supaya mendaftarkan budak-budaknya dan membayar sejumlah uang tiap tahun kepada Antimenes. Sebagai imbalannya, Antimenes menjanjikan kepada mereka jika ada budak yang melarikan diri, maka dia akan memerintahkan supaya budak itu ditangkap, atau jika tidak ditangkap, dibayar dengan sejumlah uang sebagai gantinya.
Apabila ditelaah dengan teliti, uang yang diterima oleh Antimenes dari pemilik budak itu adalah semacam premi yang diterima dari tertanggung. Pada jaman Yunani banyak juga orang yang meminjamkan sejumlah uang kepada pemerintah kota praja dengan janji bahwa pemilik uang tersebut diberi bunga setiap bulan sampai wafatnya diberi bantuan biaya penguburan. Apabila ditelaah dengan teliti, uang yang diterima oleh Antimenes dari pemilik budak itu adalah semacam premi yang diterima dari tertanggung
2. Abad Pertengahan
Peristiwa-peristiwa hukum yang telah diuraikan di atas terus berkembang pada abad pertengahan. Di Inggris sekelompok orang yang mempunyai profesi sejenis membentuk 1 (satu) perkumpulan yang disebut gilde akan memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana gilde yang terkumpul dari anggota-anggota. Perjanjian ini banyak terjadi pada abad ke-9 dan mirip dengan asuransi kebakaran.
Bentuk perjanjian seperti ini lebih lanjut berkembang di Denmark, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya sampai pada abad ke-12. Pada abad ke-13 dan abad ke-14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat. Untuk kepentingan perjalanan melalui laut, pemilik kapal meminjam sejumlah uang dari pemilik uang dengan bunga
tertentu, sedangkan kapal dan barang muatannya dijadikan jaminan. Dengan ketentuan, apabila kapal dan barang muatannya rusak atau tenggelam, uang dan bunganya tidak usah dibayar kembali
Akan tetapi, apabila kapal dan barang muatannya tiba dengan selamat di tempat tujuan, uang yang dipinjam itu dikembalikan ditambah dengan bunganya. Ini disebut bodemerij. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bunga yang dibayar itu seolah-olah berfungsi sebagai premi. Sedangkan pemilik uang berfungsi sebagai pihak yang menanggung risiko kehilangan uang dalam hal terjadi bahaya yang menimbulkan kerugian. Jadi, uang hilang itu dianggap seolah-olah sebagai ganti kerugian kepada pemilik kapal dan barang muatannya. Karena ada larangan menarik bunga oleh Agama Nasrani yang dianggap sebagai riba, maka pola perjanjian tersebut diubah. Dalam perjanjian peminjaman uang itu, pemberi pinjaman tidak perlu memberikan sejumlah uang lebih dahulu kepada pemilik kapal dan barang muatannya, tetapi setelah benar-benar terjadi bahaya yang menimpa kapal dan barang muatannya, barulah dapat diberikan sejumlah uang. Namun, pada permulaan berlayar pemilik kapal dan barang muatannya perlu menyetor sejumlah uang kepada pemberi pinjaman sebagai pihak yang menanggung. Demikianlah permulaan perkembangan asuransi kerugian pada pengangkutan laut. Asuransi ini berkembang pesat terutama di negara-negara pantai (coastal countries), seperti Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Denmark, dan lain-lain
3. Sesudah Abad Pertengahan
Sesudah abad pertengahan bidang asuransi laut dan asuransi kebakaran mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di negara-negara Eropa Barat, seperti di Inggris pada abad ke-17, kemudian di Prancis pada abad ke-18, dan terus ke negeri Belanda. Perkembangan pesat asuransi laut di negara-negara tersebut dapat dimaklumi karena negara-negara tersebut dapat dimaklumi karena negara-negara tersebut banyak berlayar melalui laut dari dan ke negara-negara seberang laut (overseas countries) terutama daerah-daerah jajahan mereka. Pada waktu pembentukan Code de Commerce Prancis pada awal abad ke-19, asuransi laut dimaksukkan dalam kodifikasi. Pada waktu pembentukan wetboek van koophandel Nederland, di samping asuransi laut dimaksukkan juga asuransi kebakaran, asuransi hasil panen, dan asuransi jiwa. Sementara di Inggris, asuransi laut diatur secara khusus dalam Undang-undang Asuransi Laut (Marine Insurance Act) yang dibentuk pada tahun 1906. Berdasarkan asas konkordasi, wetboek van koophandel Nederland diberlakukan pula di Hindia Belanda melalui Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847.
4. Abad Ilmu dan Teknologi
Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat pada abad ke-20 berdampak positif pada perkembangan usaha bidang perasuransian. Kegiatan usaha tidak hanya bidang asuransi, tetapi juga bidang penunjang asuransi. Perkembangan bidang prasarana transportasi sampai daerah pelosok mendorong perkembangan sarana transportasi darat, laut, dan udara serta meningkatkan mobilitas penumpang dari suatu daerah ke daerah bahkan negara lain. Perkembangan di bidang ekonomi ditandai oleh munculnya perusahaan-perusahaan besar yang memerlukan banyak modal melalui kredit bangunan kantor, tenaga kerja yang membutuhkan jaminan perlindungan dari ancaman bahaya kemacetan, kebakaran, dan kecelakaan kerja.
Hal ini mendorong perkembangan asuransi kredit, asuransi kebakaran, dan asuransi tenaga kerja. Perkembangan di bidang teknologi satelit komunikasi juga memerlukan perlindungan dari ancaman kegagalan peluncuran dan berfungsinya satelit, sehingga perlu diasuransikan. Hal ini pernah terjadi ketika Indonesia meluncurkan satelit Palapa B2 yang gagal masuk garis orbit. Karena kegagalan tersebut, Indonesia mengklaim dan mendapat ganti kerugian dari perusahaan asuransi yang bersangkutan.
Perkembangan usaha perasuransian mengikuti perkembangan ekonomi masyarakat. Makin tinggi pendapatan per kapita masyarakat, makin mampu masyarakat memiliki harta kekayaan dan makin dibutuhkan pula perlindungan keselamatannya dari ancaman bahaya. Karena pendapatan masyarakat meningkat, maka kemampuan membayar premi asuransi juga meningkat. Dengan demikian, usaha perasuransian juga berkembang. Kini banyak sekali jenis asuransi yang berkembang dalam masyarakat yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan asuransi sosial yang diatur dalam berbagai undang-undang. Khusus mengenai asuransi sosial bukan didasarkan pada perjanjian, melainkan diatur dengan undang-undang sebagai asuransi wajib (compulsory insurance).
Klausa Polis
KLAUSULA POLIS
Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumus¬kan dengan tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula asuransi. Maksud klausula tersebut adalah untuk mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis klausula asuransi itu ditentukan oleh sifat objek asuransi, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud dirumuskan dan diuraikan sebagai berikut.Klausula Premier Risque
a.. Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian (burglary insurance) serta asuransi tanggung jawab (liability insurance). Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi di bawah nilai benda terjadi kerugian sebagian (partial loss), penanggung akan mem¬bayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah yang di¬asuransikan (Pasal 253 ayat (3) KUHD). Sebagai contoh adalah kasus berikut ini.
Perabot rumah tangga Amat yang bernilai Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) diasuransikan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan klausula premier risque. Kemudian, rumahnya dibongkar pencuri dan perabotnya dicuri. Berdasarkan perhitungan penanggung, nilai perabot yang dicuri berjumlah Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Dengan demikian, penanggung wajib membayar klaim Amat Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan alasan:
(1) asuransi berklausula premier risque;
(2) jumlah asuransi di bawah nilai benda;
(3) kerugian yang terjadi adalah sebagian (partial loss).
b. Klausula all risks
Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala risiko atas benda yang diasuransikan. Ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat peristiwa apa pun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD). Sebagai contoh adalah kasus berikut ini.
Sundari pengusaha kaca, mengangkut kaca dagangannya yang bernilai Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan truk dan diasuransi¬kannya dengan harga Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dengan klausula all risk. Dalam perjalanan banyak terjadi goncangan, se¬hingga kaca banyak pecah. Sundari mengklaim penanggung agar mem¬bayar ganti kerugian. Penanggung meneliti sebab kerugian dan meng¬hitung jumlah kerugian yang bernilai Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Setelah diteliti, ternyata sistem pengepakan kaca tidak sesuai dengan standar yang berlaku sehingga penanggung menyatakan peris¬tiwa penyebab kerugian adalah kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) yang di luar klausula all risks. Penanggung menolak klaim ganti kerugian dari tertanggung.
c. Klausula sudah diketahui (all seen) fire insurance
Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran (fire insurance). Klausula ini menentukan bahwa penanggung sudah mengetahui betul keadaan, konstruksi, letak, dan cara pemakaian bangunan yang diasuransikan. Dengan demikian, klausula ini menghilangkan tuduhan bahwa tertang¬gung telah menyembunyikan hal-hal tertentu dari bangunan objek asuran¬si (Pasal 251 KUHD). Sebagai contoh adalah kasus berikut ini.
Sebuah rumah dekat pompa bensin bernilai Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah) diasuransikan Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) terhadap bahaya kebakaran dengan klausula "sudah diketahui". Kemudian, rumah terbakar akibat terbakarnya pompa bensin yang berada didekatnya. Kebakaran tersebut menimbulkan kerugian total. Tertang¬gung mengajukan klaim ganti kerugian kepada penanggung. Penanggung melakukan pengecekan sebab kerugian yang berasal dari kebakaran pompa bensin. Karena klausula sudah diketahui, maka penanggung membayar ganti kerugian total maksimum Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
d. Klausula renunsiasi (renunciation)
Renunsiasi artinya pelepasan hak. Klausula ini berhubungan dengan ketentuan Pasal 251 KUHD yang berarti melepaskan hak gugat berdasar¬kan pasal tersebut. Menurut klausula ini penanggung tidak akan menggugat tertanggung dengan alasan Pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus diberlakukan secara jujur (fair) atau dengan itikad baik (in good faith) dan sesuai dengan kebiasaan. Ini berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen bagi tertanggung, pada¬hal tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan alasan Pasal 251 KUHD (tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi), dan penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung. Akan tetapi, jika diperkarakan ke Pengadilan Negeri dan peng¬adilan memutuskan bahwa Pasal 251 KUHD berlaku terhadap kasus itu, maka penanggung tidak berkewajiban membayar ganti kerugian walau¬pun asuransi berklausula renunsiasi.
E. Klausula Free From Particular Average (FPA)
Klausula ini digunakan pada asuransi pengangkutan laut. Average artinya peristiwa kerugian laut. Klausula ini mempunyai arti bahwa penanggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (particular average) seperti ditentukan dalam Pasal 709 KUHD. Berdasarkan klausula ini, penanggung menolak pem¬bayaran ganti kerugian yang diklaim oleh tertanggung yang sebenarnya timbul akibat peristiwa khusus yang sudah dibebaskan oleh klausula free from particular average (FPA). Penanggung hanya berkewajiban mem¬bayar ganti kerugian yang timbul dari peristiwa laut yang bukan termasuk particular average seperti yang tertulis dalam polis. Kebalikan dari klau¬sula ini adalah with particular average (WPA) yang berarti penanggung wajib mengganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (particular average) sesuai dengan ketentuan Pasal 709 Kitab Undang¬-Undang Hukum Dagang.
PEMBUATAN DAN PENYERAHAN POLIS
Menurut ketentuan Pasal 259 KUHD, apabila asuransi diadakan langsung antara tertanggung dan penanggung, maka polis harus ditandatangani dan diserahkan oleh penanggung dalam tempo 24 (dua puluh empat) jam setelah permintaan, kecuali apabila karena ketentuan undang-undang di¬tentukan tenggang waktu yang lebih lama. Berdasarkan ketentuan ini, maka pembuat polis adalah penanggung atas permintaan tertanggung. Penanggung menandatangani polis tersebut, setelah itu segera diserah¬kan kepada tertanggung. Pembuatan polis oleh penanggung sesuai dengan fungsi polis sebagai bukti tertulis bagi kepentingan tertanggung. Dalam praktik asuransi, penanggung adalah pengusaha yang mencari keuntungan dengan cara mengambil alih risiko dari tertanggung dan menerima sejumlah premi sebagai imbalannya. Untuk itu, penanggung membuat polis yang bentuk dan isinya sudah dibakukan (standard policy) serta dicetak. Dalam polis dimuat syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus tertentu. Kemudian, polis tersebut disodorkan kepada tertanggung yang berminat mengadakan asuransi agar diteliti dan dipahami isinya.
Apabila tertanggung setuju, penanggung akan menyelesaikan dan menandatangani polis kemudian diserahkan kepada tertanggung. Akab tetapi, apabila tertanggung tidak setuju, dia tidak perlu mengadakan asuransi dengan penanggung. Dalam praktik hukum kontrak bisnis, asas ini disebut take it or leave itu. Dalam praktik asuransi dapat terjadi bahwa calon tertanggung ketika mengadakan asuransi tidak begitu cermat mempelajari syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang telah ditentukan di dalam polis oleh penanggung. Setelah asuransi diadakan dan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, barulah tertanggung sadar bahwa ketika mengajukan klaim ganti kerugian dia mengalami kesulitan karena dalam polis ada syarat-syarat khusus atau janji-janji khusus yang membatasi tanggung jawab penanggung (eksonerasi). Tertanggung selama asuransi berjalan sampai terjadi peristiwa, lalai membaca atau memahami isi polis. Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti diuraikan tadi, penanggung sebagai pembuat polis (perjanjian baku) untuk asuransi tertentu mencantumkan suatu peringatan pada polisnya supaya diperhatikan oleh siapa saja yang ingin mengadakan asuransi tertentu dengan Perusahaan Asuransi yang bersangkutan. Peringatan tersebut berbunyi:
"Untuk menghindarkan kemungkinan terjadi salah pengertian. minta supaya tertanggung membaca syarat-syarat polis ini dengan sebaik-baiknya ".
Menurut ketentuan Pasal 260 KUHD, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan pialang asuransi, maka polis yang sudah ditandatangani penanggung harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah dibuat perjanjian asuransi. Berdasarkan ketentuan pasal ini, jangka waktu 8 (delapan) hari itu dihitung sejak terjadi kesepakatan antara pialang asuransi dan penanggung, bukan sejak polis ditandatangani penanggung. Mungkin saja polis baru ditandatangani oleh penanggung beberapa hari setelah terjadi kesepakatan asuransi. Dalam beberapa hari yang masih tersisa itu, pialang harus sudah menyerahkan polis kepada tertanggung. Dalam praktik asuransi, pengadaan asuransi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perantaraan pialang didahului dengan permintaan nota penutupan (cover note) sebagai bukti sudah tercapai kesepa¬katan asuransi. Atas dasar ini baru dibuatkan polis oleh penanggung. Antara pembuatan nota penutupan dan penandatanganan polis terdapat jangka waktu. Makin cepat dilakukan penandatanganan polis, makin singkat jangka waktu tersebut, sehingga makin kecil kemungkinan keterlambatan penyerahan polis oleh penanggung atau oleh pialang.
Bagaimana akibat hukumnya jika penyerahan polis kepada tertanggungn itu terlambat? Menurut ketentuan Pasal 261 KUHD; apabila ada kelalaian menyerahan polis dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, maka pe¬anggung atau pialang untuk kepentingan tertanggung wajib mengganti kerugian yang mungkin timbul dari kelalaian itu. Ketentuan ini bergantung juga pada praktik pelaksanaan Pasal 259 dan Pasal 260 KUHD. Artinya, apabila dalam praktiknya, ketentuan waktu dalam kedua pasal itu tidak diik¬uti, dan yang diikuti adalah ketentuan waktu yang diperjanjikan, maka inti kerugian yang mungkin timbul itu pun bergantung juga pada ketentuan waktu yang diperjanjikan.
ASURANSI UNTUK KEPENTINGAN PIHAK KETIGA
Menurut ketentuan Pasal 264 KUHD, asuransi tidak hanya dapat diada¬kan untuk kepentingan sendiri, tetapi dapat juga untuk kepentinyan pihak ketiga (the third party), baik berdasarkan kuasa umum atau kuasa khusus, bahkan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentinganan. Apabila asuransi itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, maka menurut ketentuan Pasal 265 KUHD, hal itu harus ditegaskan dalam polis apakah terjadi berdasarkan pemberian kuasa atau tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan. Asuransi yang diadakan tanpa pemberian kuasa dan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan, me¬nurut ketentuan Pasal 266 KUHD adalah batal, apabila benda yang sama diasuransikan oleh yang berkepentingan atau oleh pihak ketiga atas perintahnya, sebelum diketahuinya asuransi yang diadakan tanpa penge¬tahuannya itu. Asuransi yang diadakan untuk kepentingan pihak ketiga harus secara tegas dinyatakan dalam polis. Pernyataan tegas tersebut perlu, mengingat akibat hukum yang tercantum dalam Pasal 267 KUHD yang menentukan, apabila dalam polis tidak ditegaskan bahwa asuransi itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, maka tertanggung dianggap telah mengadakan asuransi untuk diri sendiri. Ketentuan pasal ini mem¬punyai arti penting dalam hal terjadi peristiwa (evenemen) yang me¬nimbulkan kerugian, pihak ketiga yang berkepentingan itu tidak berhak mengklaim karena dia bukan pihak dalam asuransi, sedangkan ter¬tanggung walaupun pihak dalam asuransi tidak berhak mengklaim karena tidak mempunyai kepentingan. Dengan demikian, asuransi yang telah di¬buat itu tidak mempunyai kekuatan berlaku bagi tertanggung dan penang¬gung tidak berkewajiban membayar klaim dengan alasan asuransi tanpa kepentingan (Pasal 250 KUHD).
Sebagai contoh, Asnam pemilik sebuah rumah mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat. Rumah tersebut diserahkan untuk. dihuni oleh keluarga Bondan iparnya. Kemudian, Simon adik kandung Asnam mengasuransi¬kan rumah itu pada Perusahaan Asuransi ACI terhadap bahaya kebakar¬an. Akan tetapi, di dalam polis tidak dinyatakan bahwa asuransi tersebut untuk kepentingan Asnam sebagai pemilik rumah. Simon adik kandung Asnam mengasuransikan rumah itu tanpa dilandasi surat kuasa khusus. Terjadilah kebakaran hebat yang menghabiskan rumah yang dihuni oleh keluarga Bondan itu. Pihak yang menderita kerugian adalah Asnam pe¬miliknya, bukan Bondan pemakai (penghuni) atau Simon. Asnam pemilik rumah tidak dapat mengklaim ganti kerugian karena dia bukan pihak dalam asuransi dan pula tidak ditegaskan dalam polis sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Simon walaupun pihak dalam asuransi tidak dapat mengklaim ganti kerugian karena tidak mempunyai kepentingan atas rumah itu. Ketentuan Pasal 265 KUHD juga mengharuskan ketegasan dalam polis, bahwa asuransi untuk kepentingan pihak ketiga itu berdasarkan pem¬berian kuasa atau tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan, mengingat akibat hukum yang tercantum dalam Pasal 266 KUHD. Apa¬bila asuransi untuk kepentingan pihak ketiga itu diadakan tanpa pemberian kuasa dan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan, sedangkan pihak ketiga yang berkepentingan itu sudah mengasuransikan lebih dahulu bendanya, maka akibat hukumnya asuransi yang diadakan untuk kepentingan pihak ketiga itu batal. Ketentuan Pasal 266 KUHD yang menyatakan batalnya asuransi untuk kepentingan pihak ketiga itu bertujuan untuk mencegah terjadi asuransi rangkap yang dilarang.
Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumus¬kan dengan tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula asuransi. Maksud klausula tersebut adalah untuk mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis klausula asuransi itu ditentukan oleh sifat objek asuransi, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud dirumuskan dan diuraikan sebagai berikut.Klausula Premier Risque
a.. Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian (burglary insurance) serta asuransi tanggung jawab (liability insurance). Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi di bawah nilai benda terjadi kerugian sebagian (partial loss), penanggung akan mem¬bayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah yang di¬asuransikan (Pasal 253 ayat (3) KUHD). Sebagai contoh adalah kasus berikut ini.
Perabot rumah tangga Amat yang bernilai Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) diasuransikan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan klausula premier risque. Kemudian, rumahnya dibongkar pencuri dan perabotnya dicuri. Berdasarkan perhitungan penanggung, nilai perabot yang dicuri berjumlah Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Dengan demikian, penanggung wajib membayar klaim Amat Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan alasan:
(1) asuransi berklausula premier risque;
(2) jumlah asuransi di bawah nilai benda;
(3) kerugian yang terjadi adalah sebagian (partial loss).
b. Klausula all risks
Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala risiko atas benda yang diasuransikan. Ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat peristiwa apa pun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD). Sebagai contoh adalah kasus berikut ini.
Sundari pengusaha kaca, mengangkut kaca dagangannya yang bernilai Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan truk dan diasuransi¬kannya dengan harga Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dengan klausula all risk. Dalam perjalanan banyak terjadi goncangan, se¬hingga kaca banyak pecah. Sundari mengklaim penanggung agar mem¬bayar ganti kerugian. Penanggung meneliti sebab kerugian dan meng¬hitung jumlah kerugian yang bernilai Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Setelah diteliti, ternyata sistem pengepakan kaca tidak sesuai dengan standar yang berlaku sehingga penanggung menyatakan peris¬tiwa penyebab kerugian adalah kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) yang di luar klausula all risks. Penanggung menolak klaim ganti kerugian dari tertanggung.
c. Klausula sudah diketahui (all seen) fire insurance
Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran (fire insurance). Klausula ini menentukan bahwa penanggung sudah mengetahui betul keadaan, konstruksi, letak, dan cara pemakaian bangunan yang diasuransikan. Dengan demikian, klausula ini menghilangkan tuduhan bahwa tertang¬gung telah menyembunyikan hal-hal tertentu dari bangunan objek asuran¬si (Pasal 251 KUHD). Sebagai contoh adalah kasus berikut ini.
Sebuah rumah dekat pompa bensin bernilai Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah) diasuransikan Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) terhadap bahaya kebakaran dengan klausula "sudah diketahui". Kemudian, rumah terbakar akibat terbakarnya pompa bensin yang berada didekatnya. Kebakaran tersebut menimbulkan kerugian total. Tertang¬gung mengajukan klaim ganti kerugian kepada penanggung. Penanggung melakukan pengecekan sebab kerugian yang berasal dari kebakaran pompa bensin. Karena klausula sudah diketahui, maka penanggung membayar ganti kerugian total maksimum Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
d. Klausula renunsiasi (renunciation)
Renunsiasi artinya pelepasan hak. Klausula ini berhubungan dengan ketentuan Pasal 251 KUHD yang berarti melepaskan hak gugat berdasar¬kan pasal tersebut. Menurut klausula ini penanggung tidak akan menggugat tertanggung dengan alasan Pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus diberlakukan secara jujur (fair) atau dengan itikad baik (in good faith) dan sesuai dengan kebiasaan. Ini berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen bagi tertanggung, pada¬hal tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan alasan Pasal 251 KUHD (tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi), dan penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung. Akan tetapi, jika diperkarakan ke Pengadilan Negeri dan peng¬adilan memutuskan bahwa Pasal 251 KUHD berlaku terhadap kasus itu, maka penanggung tidak berkewajiban membayar ganti kerugian walau¬pun asuransi berklausula renunsiasi.
E. Klausula Free From Particular Average (FPA)
Klausula ini digunakan pada asuransi pengangkutan laut. Average artinya peristiwa kerugian laut. Klausula ini mempunyai arti bahwa penanggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (particular average) seperti ditentukan dalam Pasal 709 KUHD. Berdasarkan klausula ini, penanggung menolak pem¬bayaran ganti kerugian yang diklaim oleh tertanggung yang sebenarnya timbul akibat peristiwa khusus yang sudah dibebaskan oleh klausula free from particular average (FPA). Penanggung hanya berkewajiban mem¬bayar ganti kerugian yang timbul dari peristiwa laut yang bukan termasuk particular average seperti yang tertulis dalam polis. Kebalikan dari klau¬sula ini adalah with particular average (WPA) yang berarti penanggung wajib mengganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (particular average) sesuai dengan ketentuan Pasal 709 Kitab Undang¬-Undang Hukum Dagang.
PEMBUATAN DAN PENYERAHAN POLIS
Menurut ketentuan Pasal 259 KUHD, apabila asuransi diadakan langsung antara tertanggung dan penanggung, maka polis harus ditandatangani dan diserahkan oleh penanggung dalam tempo 24 (dua puluh empat) jam setelah permintaan, kecuali apabila karena ketentuan undang-undang di¬tentukan tenggang waktu yang lebih lama. Berdasarkan ketentuan ini, maka pembuat polis adalah penanggung atas permintaan tertanggung. Penanggung menandatangani polis tersebut, setelah itu segera diserah¬kan kepada tertanggung. Pembuatan polis oleh penanggung sesuai dengan fungsi polis sebagai bukti tertulis bagi kepentingan tertanggung. Dalam praktik asuransi, penanggung adalah pengusaha yang mencari keuntungan dengan cara mengambil alih risiko dari tertanggung dan menerima sejumlah premi sebagai imbalannya. Untuk itu, penanggung membuat polis yang bentuk dan isinya sudah dibakukan (standard policy) serta dicetak. Dalam polis dimuat syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus tertentu. Kemudian, polis tersebut disodorkan kepada tertanggung yang berminat mengadakan asuransi agar diteliti dan dipahami isinya.
Apabila tertanggung setuju, penanggung akan menyelesaikan dan menandatangani polis kemudian diserahkan kepada tertanggung. Akab tetapi, apabila tertanggung tidak setuju, dia tidak perlu mengadakan asuransi dengan penanggung. Dalam praktik hukum kontrak bisnis, asas ini disebut take it or leave itu. Dalam praktik asuransi dapat terjadi bahwa calon tertanggung ketika mengadakan asuransi tidak begitu cermat mempelajari syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang telah ditentukan di dalam polis oleh penanggung. Setelah asuransi diadakan dan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, barulah tertanggung sadar bahwa ketika mengajukan klaim ganti kerugian dia mengalami kesulitan karena dalam polis ada syarat-syarat khusus atau janji-janji khusus yang membatasi tanggung jawab penanggung (eksonerasi). Tertanggung selama asuransi berjalan sampai terjadi peristiwa, lalai membaca atau memahami isi polis. Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti diuraikan tadi, penanggung sebagai pembuat polis (perjanjian baku) untuk asuransi tertentu mencantumkan suatu peringatan pada polisnya supaya diperhatikan oleh siapa saja yang ingin mengadakan asuransi tertentu dengan Perusahaan Asuransi yang bersangkutan. Peringatan tersebut berbunyi:
"Untuk menghindarkan kemungkinan terjadi salah pengertian. minta supaya tertanggung membaca syarat-syarat polis ini dengan sebaik-baiknya ".
Menurut ketentuan Pasal 260 KUHD, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan pialang asuransi, maka polis yang sudah ditandatangani penanggung harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah dibuat perjanjian asuransi. Berdasarkan ketentuan pasal ini, jangka waktu 8 (delapan) hari itu dihitung sejak terjadi kesepakatan antara pialang asuransi dan penanggung, bukan sejak polis ditandatangani penanggung. Mungkin saja polis baru ditandatangani oleh penanggung beberapa hari setelah terjadi kesepakatan asuransi. Dalam beberapa hari yang masih tersisa itu, pialang harus sudah menyerahkan polis kepada tertanggung. Dalam praktik asuransi, pengadaan asuransi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perantaraan pialang didahului dengan permintaan nota penutupan (cover note) sebagai bukti sudah tercapai kesepa¬katan asuransi. Atas dasar ini baru dibuatkan polis oleh penanggung. Antara pembuatan nota penutupan dan penandatanganan polis terdapat jangka waktu. Makin cepat dilakukan penandatanganan polis, makin singkat jangka waktu tersebut, sehingga makin kecil kemungkinan keterlambatan penyerahan polis oleh penanggung atau oleh pialang.
Bagaimana akibat hukumnya jika penyerahan polis kepada tertanggungn itu terlambat? Menurut ketentuan Pasal 261 KUHD; apabila ada kelalaian menyerahan polis dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, maka pe¬anggung atau pialang untuk kepentingan tertanggung wajib mengganti kerugian yang mungkin timbul dari kelalaian itu. Ketentuan ini bergantung juga pada praktik pelaksanaan Pasal 259 dan Pasal 260 KUHD. Artinya, apabila dalam praktiknya, ketentuan waktu dalam kedua pasal itu tidak diik¬uti, dan yang diikuti adalah ketentuan waktu yang diperjanjikan, maka inti kerugian yang mungkin timbul itu pun bergantung juga pada ketentuan waktu yang diperjanjikan.
ASURANSI UNTUK KEPENTINGAN PIHAK KETIGA
Menurut ketentuan Pasal 264 KUHD, asuransi tidak hanya dapat diada¬kan untuk kepentingan sendiri, tetapi dapat juga untuk kepentinyan pihak ketiga (the third party), baik berdasarkan kuasa umum atau kuasa khusus, bahkan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentinganan. Apabila asuransi itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, maka menurut ketentuan Pasal 265 KUHD, hal itu harus ditegaskan dalam polis apakah terjadi berdasarkan pemberian kuasa atau tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan. Asuransi yang diadakan tanpa pemberian kuasa dan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan, me¬nurut ketentuan Pasal 266 KUHD adalah batal, apabila benda yang sama diasuransikan oleh yang berkepentingan atau oleh pihak ketiga atas perintahnya, sebelum diketahuinya asuransi yang diadakan tanpa penge¬tahuannya itu. Asuransi yang diadakan untuk kepentingan pihak ketiga harus secara tegas dinyatakan dalam polis. Pernyataan tegas tersebut perlu, mengingat akibat hukum yang tercantum dalam Pasal 267 KUHD yang menentukan, apabila dalam polis tidak ditegaskan bahwa asuransi itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, maka tertanggung dianggap telah mengadakan asuransi untuk diri sendiri. Ketentuan pasal ini mem¬punyai arti penting dalam hal terjadi peristiwa (evenemen) yang me¬nimbulkan kerugian, pihak ketiga yang berkepentingan itu tidak berhak mengklaim karena dia bukan pihak dalam asuransi, sedangkan ter¬tanggung walaupun pihak dalam asuransi tidak berhak mengklaim karena tidak mempunyai kepentingan. Dengan demikian, asuransi yang telah di¬buat itu tidak mempunyai kekuatan berlaku bagi tertanggung dan penang¬gung tidak berkewajiban membayar klaim dengan alasan asuransi tanpa kepentingan (Pasal 250 KUHD).
Sebagai contoh, Asnam pemilik sebuah rumah mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat. Rumah tersebut diserahkan untuk. dihuni oleh keluarga Bondan iparnya. Kemudian, Simon adik kandung Asnam mengasuransi¬kan rumah itu pada Perusahaan Asuransi ACI terhadap bahaya kebakar¬an. Akan tetapi, di dalam polis tidak dinyatakan bahwa asuransi tersebut untuk kepentingan Asnam sebagai pemilik rumah. Simon adik kandung Asnam mengasuransikan rumah itu tanpa dilandasi surat kuasa khusus. Terjadilah kebakaran hebat yang menghabiskan rumah yang dihuni oleh keluarga Bondan itu. Pihak yang menderita kerugian adalah Asnam pe¬miliknya, bukan Bondan pemakai (penghuni) atau Simon. Asnam pemilik rumah tidak dapat mengklaim ganti kerugian karena dia bukan pihak dalam asuransi dan pula tidak ditegaskan dalam polis sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Simon walaupun pihak dalam asuransi tidak dapat mengklaim ganti kerugian karena tidak mempunyai kepentingan atas rumah itu. Ketentuan Pasal 265 KUHD juga mengharuskan ketegasan dalam polis, bahwa asuransi untuk kepentingan pihak ketiga itu berdasarkan pem¬berian kuasa atau tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan, mengingat akibat hukum yang tercantum dalam Pasal 266 KUHD. Apa¬bila asuransi untuk kepentingan pihak ketiga itu diadakan tanpa pemberian kuasa dan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan, sedangkan pihak ketiga yang berkepentingan itu sudah mengasuransikan lebih dahulu bendanya, maka akibat hukumnya asuransi yang diadakan untuk kepentingan pihak ketiga itu batal. Ketentuan Pasal 266 KUHD yang menyatakan batalnya asuransi untuk kepentingan pihak ketiga itu bertujuan untuk mencegah terjadi asuransi rangkap yang dilarang.
Usaha Perasuransiaan
1. Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan
2. Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya
3. Perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
4. Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
5. Perusahaan reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa
6. Perusahaan pialang asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
7. Perusahaan pialang reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi
Bidang usaha Perasuransiaan bergerak dalam bidang:
1. Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang
2. Usaha penunjang usaha asuransi, yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria
Jenis usaha perasuransian meliputi:
a. Usaha asuransi terdiri dari :
1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
b. Usaha penunjang usaha asuransi terdiri dari:
1. Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung;
2. Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi;
3. Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan;
4. Usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria
5. Usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama tertanggung
Ruang lingkup usaha perasuransiaan
1. Perusahaan Asuransi Kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi;
2. Perusahan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku;
3. Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang.
Penutupan obyek asuransi
1. Penutupan asuransi atas obyek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung, kecuali bagi Program Asuransi Sosial;
2. Penutupan obyek asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan memperhatikan daya tampung perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi di dalam negeri;
3. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bentuk hukum usaha perasuransiaan
1. Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk :
a. Perusahaan Perseroan (PERSERO);
b. Koperasi;
c. Perseroan Terbatas;
d. Usaha Bersama.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan
3. Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang.
Kepemilikan perusahaan perasuransiaan
1. Perusahaan Perasuransian hanya dapat didirikan oleh:
a. Warganegara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki warganegara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia;
b. Perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing.
2. Perusahaan perasuransian yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus merupakan:
a. Perusahaan perasuransian yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dengan kegiatan usaha dari perusahaan perasuransian yang mendirikan atau memilikinya
b. Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, yang para pendidi atau pemilik perusahaan tersebut adalah Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan Perusahaan Perasuransian sebagaiman dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah
Perizinan usaha
1. Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib mendapat izin usaha dari Menteri, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial.
2. Untuk mendaptkan izin usaha sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dipenuhi persyaratan mengenai:
a. Anggaran dasar;
b. Susunan Organisasi;
c. Permodalan;
d. Kepemilikan;
e. Keahlian di bidang perasuransian;
f. Kelayakan rencana kerja;
g. Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat.
3. Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf b, maka untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dipenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kengurusan pihak asing.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembinaan dan pengawasan
1. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian meliputi:
a. Kesehatan keuangan bagi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi, yang terdiri dari:
1. Batas Tingkat Solvabilitas;
2. Retensi Sendiri;
3. Reasuransi;
4. Investasi;
5. Cadangan Teknis; dan
6. Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan;
b. Penyelenggaraan usaha, yang terdiri dari:
1. Syarat-syarat polis asuransi
2. Tingkat premi;
3. Penyelesaian klaim;
4. Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; dan
5. ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha;
Kepailitan dan likuidasi
1. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri, berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.
2. Hak pemegang polis atas pembagaian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama
2. Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya
3. Perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
4. Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
5. Perusahaan reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa
6. Perusahaan pialang asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
7. Perusahaan pialang reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi
Bidang usaha Perasuransiaan bergerak dalam bidang:
1. Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang
2. Usaha penunjang usaha asuransi, yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria
Jenis usaha perasuransian meliputi:
a. Usaha asuransi terdiri dari :
1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
b. Usaha penunjang usaha asuransi terdiri dari:
1. Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung;
2. Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi;
3. Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan;
4. Usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria
5. Usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama tertanggung
Ruang lingkup usaha perasuransiaan
1. Perusahaan Asuransi Kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi;
2. Perusahan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku;
3. Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang.
Penutupan obyek asuransi
1. Penutupan asuransi atas obyek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung, kecuali bagi Program Asuransi Sosial;
2. Penutupan obyek asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan memperhatikan daya tampung perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi di dalam negeri;
3. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bentuk hukum usaha perasuransiaan
1. Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk :
a. Perusahaan Perseroan (PERSERO);
b. Koperasi;
c. Perseroan Terbatas;
d. Usaha Bersama.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan
3. Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang.
Kepemilikan perusahaan perasuransiaan
1. Perusahaan Perasuransian hanya dapat didirikan oleh:
a. Warganegara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki warganegara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia;
b. Perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing.
2. Perusahaan perasuransian yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus merupakan:
a. Perusahaan perasuransian yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dengan kegiatan usaha dari perusahaan perasuransian yang mendirikan atau memilikinya
b. Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, yang para pendidi atau pemilik perusahaan tersebut adalah Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan Perusahaan Perasuransian sebagaiman dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah
Perizinan usaha
1. Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib mendapat izin usaha dari Menteri, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial.
2. Untuk mendaptkan izin usaha sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dipenuhi persyaratan mengenai:
a. Anggaran dasar;
b. Susunan Organisasi;
c. Permodalan;
d. Kepemilikan;
e. Keahlian di bidang perasuransian;
f. Kelayakan rencana kerja;
g. Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat.
3. Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf b, maka untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dipenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kengurusan pihak asing.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembinaan dan pengawasan
1. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian meliputi:
a. Kesehatan keuangan bagi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi, yang terdiri dari:
1. Batas Tingkat Solvabilitas;
2. Retensi Sendiri;
3. Reasuransi;
4. Investasi;
5. Cadangan Teknis; dan
6. Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan;
b. Penyelenggaraan usaha, yang terdiri dari:
1. Syarat-syarat polis asuransi
2. Tingkat premi;
3. Penyelesaian klaim;
4. Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; dan
5. ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha;
Kepailitan dan likuidasi
1. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri, berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.
2. Hak pemegang polis atas pembagaian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama
Pelestarian Lingkungan Laut
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kualitas lingkungan yang baik merupakan salah satu modal dasar penting bagi terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan. Kualitas lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat lokal, penduduk yang bekerja serta yang berkunjung ke daerah tersebut. Banyak aktivitas manusia yang memiliki dampak buruk terhadap kualitas lingkungan karena pengelolaan sampah dan limbah yang kurang baik, kepedulian masyarakat yang rendah terhadap kebersihan lingkungan, penggunaan yang semakin meningkat bahan-bahan yang tidak mampu didegradasi oleh alam serta bahan xenobiotik lain yang berdampak serius terhadap kualitas lingkungan.
Isu perlindungan lingkungan laut, memiliki pengertian berbeda dengan isu pelestarian lingkungan laut. Pada tingkat internasional definisi perlindungan lingkungan laut merujuk kepada upaya mencegah hancurnya lingkungan laut yang tengah berada dalam kondisi terancam. Sedangkan pelestarian lingkungan laut merujuk kepada pengaturan penggunaan laut beserta sumber-sumber daya terkaitnya agar terhindar dari ancaman-ancaman perusakan. Dengan demikian pelestarian lingkungan laut memiliki pengertian lebih luas dari perlindungan lingkungan laut, karena upaya pelestarian mencakup upaya-upaya perlindungan, “maintenance”, restorasi dan rehabilitasi dalam rangka menjamin kesinambungan ekosistim dan keaneka ragaman hayati (biodiversity) dari sesuatu lingkungan laut.
UNCLOS juga mengatur bahwa pelaksanaan hak berdaulat negara untuk mengeksploitasi sumber-sumber dayanya perlu disesuaikan dengan kebijakan-kebijakan lingkungan dan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut” (juncto Pasal 193 Bab XII UNCLOS). Mandat Pasal 192 dan 193 UNCLOS dipandang sebagai pemula dari konsep pembangunan berkelanjutan. Prinsip- prinsip pasal 192 dan 193 tersebut dalam perkembangan selanjutnya telah dipertegas kembali penegakannya melalui Keputusan Provisional Measures ITLOS atas sengketa reklamasi Malaysia versus Singapura tanggal 8 Oktober 2003 (lihat Annex 1).
Melalui keputusannya tersebut ITLOS juga tampak berupaya memperkuat penegakan mandat Pasal 194 ayat 1 yang secara tegas mengatur bahwa negara-negara harus menghormati lingkungan laut negara lain dan mengemban kewajiban untuk mengambil seluruh upaya yang diperlukan guna mencegah, mengurangi dan mengawasi polusi lingkungan laut dari sumber apapun, dengan menerapkan praktek cara-cara terbaik (the best practicable means) sesuai dengan kemampuannya.
Perkembangan menonjol lainnya sehubungan dengan mandat UNCLOS di bidang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah berkenaan dengan aspek kerjasama global dan regional. Dalam kaitan ini, keputusan provisional measures ITLOS tanggal 8 Oktober 2003 atas sengketa reklamasi Malaysia versus Singapura, juga telah memperkuat dan menegaskan kembali mengenai pentingnya elemen kerjasama antara negara termasuk kerjasama bilateral guna menjamin perlindungan dan pelestarian lingkungan laut khususnya melalui pencegahan polusi terhadap lingkungan laut.
1.2 Permasalahan
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa pokok permasalahan diantaranya;
1. Bagaimanakah bentuk pengaturan pelestariaan lingkungan laut dalam konvensi hukum laut PBB (UNCLOS 1982) ?
2. Hal-hal apakah yang diatur dalam pelestariaan lingkungan laut berdasarkan konvensi hokum laut PBB (UNCLOS 1982) ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pencemaran Lingkungan Laut
Pengertian lingkungan laut ( marine environment) di dapat dari Agenda 21 yang merupakan salah satu dokumen penting hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992 yang memberikan yaitu bahwa lingkungan laut termasuk samudera, semua laut, dan kawasan pantai membentuk satu kesatuan komponen penting sistem yang mendukung kehidupan global dan kekayaan yang memberikan kesempatan untuk melakukan pembangunan berkelanjutan.
Pengertian lingkungan laut (marine environment) tidak terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, tetapi pengertian pencemaran lingkungan laut (pollution of the marine environment) sendiri ada, yaitu sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 Konvensi, yang berbunyi sebagai berikut: “bahwa pencemaran lingkungan laut berarti dimasukannya oleh manusia secara langsung atau tidak langsung bahan atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk kuala yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hati dan kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan mengurangi kenyamanan”
Konvensi Hukum Laut 1982 secara lengkap mengatur perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection and preservation of the marine environment) yang terdapat dalam Pasal 192-237. Pasal 192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan prinsip penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut, yaitu prinsip yang berbunyi : bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Oleh karena itu, Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan upaya-upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari setiap sumber pencemaran, seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982.
2.2 Kerja Sama Regional Dan Internasional (Global And Regional Co-Operation)
Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut tersebut, setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global. Keharusan untuk melakukan kerja sama regional dan global (global and regional co-operation) diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi : “Negara-negara harus bekerja sama secara global dan regional secara langsung atau melalui organisasi internasional dalam merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan standard internasional serta prosedur dan praktik yang disarankan sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan laut dengan memperhatikan keadaan regional tersebut”.
Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the Area), pencemaran dari dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the atmosphere).
Konvensi Hukum Laut 1982 menunjuk aturan hukum internasional lainnya tentang pencemaran laut tersebut karena pengaturan tentang persoalan pencemaran laut dan aspek-aspek hukum terkait lainnya telah dikembangkan dengan baik oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO) yang bermarkas di London. IMO telah mengeluarkan beberapa perjanjian internasional mengenai pencemaran laut dan terus diamandemen sesuai dengan perkembangan di lapangan. Beberapa aturan hukum internasional tentang pencemaran laut yang telah dibuat tersebut adalah antara lain sebagai berikut :
1. International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil, 1954 (OILPOL) 1958;
2. International Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution Casualties, 1969 (INTERVENTION) 1975;
3. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and other Matter, 1972 (LDC) 1975;
4. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 as modified by the Protocol of 1978 (MARPOL) 73/78) 1983; ada 6 Annexes;
5. International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC), 1990;
Beberapa contoh kerja sama regional yang telah dilakukan oleh Negara-negara yang tergabung dalam kawasan regional sebagai upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah sebagai berikut :
1. Convention on the Protection of the Marine Environment of the Baltic Sea Area, 1974, due to be replaced by the 1992 Convention of the same name or 1992 Baltic Conventions. The Baltic Conventions themselves contain detailed obligations and therefore do not have supplementary protocols;
2. Convention for the Protection of the Mediterranean Sea against Pollution 1976 (Barcelona Convention), amended in 1995, together with its protocols on dumping (1976), co- operation in emergencies (1976), land-based sources (1980), specially protected areas (1982 and 1995), sea-bed activities (1994), and transboundary movement of hazardous waste (1996);
3. Arabian/Persian Gulf and Gulf of Oman : Kuwait Regional Convention for Co-operation on the Protection of the Marine Environment from Pollution 1978 (Kuwait Convention);
4. Convention for Co-operation in the Protection and Development of the Marine and Coastal Environment of the West and Central African Region 1981 (the West African Convention);
5. Convention for the Protection of the Marine Environment and Coastal Area of the South- East Pacific (the South-East Pacific Convention), together with its agreement and supplementary protocol on co-operation in emergencies (1981 and 1983) and protocols.
6. Dan masih banyak yang lainnya
2.3 Bantuan Teknis
Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan keberhasilan perjuangan Negara-negara berkembang karena dalam Konvensi tersebut diatur perlunya Negara berkembang mendapat bantuan dari negara-negara maju, yaitu bantuan teknis dalam kerangka perlindungan dan pelestarian lingkungan laut sebagaimana diatur oleh Pasal 202-203 Konvensi. Bantuan teknis tersebut paling tidak mencakup pelatihan tenaga teknis dan ilmiah, partisipasi dalam program-program internasional, peralatan, riset, monitoring, pendidikan, penanggulangan pencemaran laut, dan perbaikan lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuan pencegahan, pengurangan, dan pengendalian lingkungan laut, Negara- negara berkembang harus diberikan perlakuan khusus oleh organisasi-organisasi internasional dalam alokasi dana dan bantuan teknis serta pemanfaatannya.
2.4 Penegakan Hukum Dan Pengamanan
Pembuatan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup yang diwajibkan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut harus diikuti dengan penegakan hukum (law enforcement), yaitu penegakan hukum bagi pelaku pencemaran yang berasal dari darat, pencemaran dari kegiatan di dasar laut, pencemaran dari kegiatan di Kawasan, pencemaran yang disebabkan oleh dumping. Pengertian dumping sendiri sudah diatur oleh Pasal 1 huruf (5) Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu yang dimaksud dumping. Dumping adalah setiap pembuangan dengan sengaja limbah atau benda lainnya dari kapal, pesawat udara, platforms atau bangunan lainnya di laut, atau setiap pembuangan sengaja kapal, pesawat udara, platforms, atau bangunan lainnya di laut. Dumping tidak termasuk pembuangan limbah atau lainnya yang berasal dari operasi normal atau penempatan benda untuk suatu tujuan tertentu yang bukan pembuangan benda tersebut. Dumping telah diatur lebih lengkap lagi oleh Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and other Matter tahun 1972 atau disering disebut London Dumping Convention (LDC) 1972.
Penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran lingkungan laut yang berasal berbagai sumber pencemaran tersebut harus dilakukan oleh Negara-negara bendera (flags States), Negara pelabuhan (port States), dan Negara pantai (coastal States) sebagaimana diatur oleh Pasal 213-220 Konvensi Hukum Laut 1982. Penegakan hukum oleh Negara bendera adalah antara lain bahwa Negara bendera harus terdaftar di negaranya dengan mematuhi standard dan aturan internasional yang berlaku, memenuhi kelaikan berlayar, tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional, memberikan sanksi kepada awak kapal yang melanggar aturan pelayaran terutama tidak melakukan tindakan yang menyebabkan terjadinya pencemaran laut. Penegakan hukum oleh Negara pelabuhan adalah antara lain bahwa Negara pelabuhan harus memeriksa kelaikan kapal yang berlabuh di pelabuhannya itu termasuk juga harus menilai bahwa apakah kapal yang berlabuh itu telah melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran laut atau tidak. Kalau terbukti kapal yang berlabuh itu telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran laut, maka Negara pelabuhan harus memberikan sanksi sesuai dengan aturan hukum nasionalnya dan hukum internasional.
Penegakan hukum oleh Negara pantai adalah proses pengadilan bagi setiap pelaku pelanggaran peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencemaran lingkungan laut baik pencemaran laut yang terjadi di laut teritorial atau di zona ekonomi eksklusif. Proses penuntutan tersebut termasuk penahanan kapalnya Negara pantai harus mempunyai peraturan perundang-undangan yang dapat memaksa kapal yang berlayar di laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif mematuhinya. Penegakan hukum oleh Negara pelabuhan, bendera, atau Negara pantai harus diikuti dengan tindakan pengamanan (safeguard) sebagaimana diatur oleh Pasal 223-233 Konvensi Hukum Laut 1982. Pengamanan tersebut berupa fasilitas proses penuntutan seperti pengadilan yang berwenang, perlengkapan armada penangkapan kapal asing yang diduga melakukan pelanggaran seperti kapal perang/militer dengan sumber daya manusianya. Dalam pelaksanaan pengamanan ini tersebut tidak boleh mengganggu keselamatan pelayaran (safety of navigation).
Apabila ada kapal asing yang diduga telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan tentang pencemaran laut, maka setiap Negara dapat melakukan investigasi pada kapal asing tersebut berupa pemeriksaan dokumen-dokumennya. Kapal yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran tersebut harus segera dilepaskan setelah ada jaminan uang yang wajar. Pelaksanaan pengamanan itu tidak boleh diskriminasi, sanksinya berupa denda uang, penghormatan terhadap hak-hak terdakwa, memberi tahu kepada Negara benderanya, pengamanan bagi selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, tetapi akan timbul tanggung jawab apabila ada kerugian dari pelaksanaan tindakan pengamanan tersebut.
2.5 Ketentuan Tentang Kekebalan
Ketentuan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dalam Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut tidak berlaku bagi kapal perang (warship), kapal bantuan (naval auxiliary), kapal atau pesawat udara lainnya yang dioperasikan Negara untuk kepentingan pemerintah yang bukan komersial, tetapi operasi tersebut harus sesuai dengan Konvensi sebagaimana diatur oleh Pasal 236-237. Pasal 237 Konvensi menyatakan bahwa kekebalan tersebut tidak boleh merugikan kewajiban khusus yang lahir dari perjanjian tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang harus dilaksananan sesuai dengan prinsip-prinsip umum dan tujuan Konvensi Hukum Laut 1982.
2.6 Tanggung Jawab Dan Kewajiban Ganti Rugi (Responsibility And Liability)
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional.
Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang (natural person) atau badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya. Oleh karena itu, setiap Negara harus bekerja sama dalam mengimplementasikan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi.
Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab Negara (state sovereignty) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban internasional tersebut seperti tidak melaksanakan ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya. Tanggung jawab Negara dan kewajiban untuk memberikan ganti ruginya sering terjadi dalam kasus-kasus pencemaran laut, seperti dalam kasus Torrey Canyon 1967, Showa Maru 1975, Amoco Cadiz 1978, Exxon Valdez 1989, Mox Plant 2001, Prestige 2002, tetapi belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur tanggung jawab Negara dalam hukum internasional. Selama ini persoalan tanggung jawab Negara mengacu pada Draft Articles on Responsibility of States for International Wrongful Acts yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) Majelis Umum PBB. Draft Articles yang terakhir adalah Draft Articles tahun 2001, tetapi sebenarnya tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi itu sudah tersebar dalam beberapa perjanjian internasional yang dibuat badan-badan khusus PBB maupun IMO.
IMO banyak mengeluarkan beberapa perjanjian internasional tentang tanggung jawab negara, tanggung jawab sipil, ganti rugi, atau kompensasi seperti yang terdapat dalam beberapa perjanjian berikut ini :
1. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 1969 (CLC) 1976, 1984.
2. Convention Relating to Civil Liability in the Field of Maritime Carriage of Nuclear Material, 1971 (NUCLEAR) 1975.
3. International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage, 1971 (FUND) 1978. 72
4. Athens Convention Relating to the Carriage of Passangers and their Luggage by Sea, 1974 (PAL) 1987.
5. Convention on Limitation of Liability for Maritime Claims, 1976 (LLMC) 1986.
Pada umumnya status tanggung jawab dikenal dua sifat, yaitu tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), dan tanggung jawab langsung dan seketika (strict liability).
2.7 Hak Dan Kewajiban Indonesia Serta Status Saat Ini
Indonesia sebagai Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :
1. Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu proses pengadilannya
2. Kewajiban melakukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut, yang berarti Indonesia mempunyai peralatan dan sumber daya manusia yang memadai;
3. kewajiban melakukan kerja sama regional dan global, kalau kerja sama regional berarti kerja sama ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kerja sama global berarti dengan negara lain yang melibatkan negara-negara di luar ASEAN karena sekarang persoalan pencemaran lingkungan laut adalah persoalan global, sehingga penanganannya harus global juga.
4. Indonesia harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian dari contingency plan;
5. Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat terjadinya pencemaran laut.
BAB III
PENUTUP
Sebagai negara yang menandatangani dan kemudian telah meratifikasinya menjadi bagian dari tataran hukum nasionalnya, maka Indonesia tentunya harus taat azas dengan berbagai ketentuan hukum laut internasional dari UNCLOS 1982, termasuk tentang hak dan kewajiban. Kajian ini telah berhasil menemukenali banyak hal tentang hak dan kewajiban, baik yang sudah kita kerjakan hingga saat ini atau yang perlu kita lakukan kemudian. Namun demikian perlu diketahui bahwa apa yang telah diidentifikasi dalam kajian ini masih akan terus berkembang, seiring dengan dinamika perkembangan dunia.
Termasuk juga dalam hal pelestariaan lingkungan laut, Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi UNCLOS, tentunya akan mengikuti semua ketentuan yang berkaitan dengan pelestariaan lingkungan laut yang telah ditetapkan dalam UNCLOS. Ini merupakan salah satu wujud bentuk dari tanggung jawab bangsa Indonesia setelah meratifikasi perjanjian tersebut. Maka hal-hal yang berkaitan dengan pelestaraiaan lingkungan laut berdasarkan ketentuan yang ada dalam UNCLOS wajib dilaksnakan oleh bangsa Indonesia begitu juga dengan Negara-negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut.
Dalam pasal 192-237 UNCLOS telah terdapat berbagai kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh setiap Negara yang tergabung dalam perjanjian tersbut, tentunya pasal-pasal tersebut berkaitan dengan pserlindungan terhadap kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan laut. Jadi sudah jelas di sini bahwa dalam UNCLOS sudah terdapat aturan yang jelas mengenai pelestarian terhadap lingkungan laut yang harus ditaati oleh setiap Negara yang telah meratifikasi perjanjian UNCLOS tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Starke. J .G. pengantar hukum internasional edisi kesepuluh. 2004. Cetakan VII. Jakarta; Sinar grafika offset
laporan akhir. evaluasi kebijakan dalam rangka implementasi hukum laut internasional (unclos 1982)di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia Tahun Anggaran 2008.
Bab 4. Perkembangan Penanganan Mandat Unclos Di Bidang Perlindungan Dan Pelestarian Lingkungan Laut Serta Keterkaitannya Dengan Reklamasi. //http.www.google.com
United Nations Convention On The Law Of The Sea(Bahasa Inggris dan Indonesia).//http.www.google.com
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kualitas lingkungan yang baik merupakan salah satu modal dasar penting bagi terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan. Kualitas lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat lokal, penduduk yang bekerja serta yang berkunjung ke daerah tersebut. Banyak aktivitas manusia yang memiliki dampak buruk terhadap kualitas lingkungan karena pengelolaan sampah dan limbah yang kurang baik, kepedulian masyarakat yang rendah terhadap kebersihan lingkungan, penggunaan yang semakin meningkat bahan-bahan yang tidak mampu didegradasi oleh alam serta bahan xenobiotik lain yang berdampak serius terhadap kualitas lingkungan.
Isu perlindungan lingkungan laut, memiliki pengertian berbeda dengan isu pelestarian lingkungan laut. Pada tingkat internasional definisi perlindungan lingkungan laut merujuk kepada upaya mencegah hancurnya lingkungan laut yang tengah berada dalam kondisi terancam. Sedangkan pelestarian lingkungan laut merujuk kepada pengaturan penggunaan laut beserta sumber-sumber daya terkaitnya agar terhindar dari ancaman-ancaman perusakan. Dengan demikian pelestarian lingkungan laut memiliki pengertian lebih luas dari perlindungan lingkungan laut, karena upaya pelestarian mencakup upaya-upaya perlindungan, “maintenance”, restorasi dan rehabilitasi dalam rangka menjamin kesinambungan ekosistim dan keaneka ragaman hayati (biodiversity) dari sesuatu lingkungan laut.
UNCLOS juga mengatur bahwa pelaksanaan hak berdaulat negara untuk mengeksploitasi sumber-sumber dayanya perlu disesuaikan dengan kebijakan-kebijakan lingkungan dan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut” (juncto Pasal 193 Bab XII UNCLOS). Mandat Pasal 192 dan 193 UNCLOS dipandang sebagai pemula dari konsep pembangunan berkelanjutan. Prinsip- prinsip pasal 192 dan 193 tersebut dalam perkembangan selanjutnya telah dipertegas kembali penegakannya melalui Keputusan Provisional Measures ITLOS atas sengketa reklamasi Malaysia versus Singapura tanggal 8 Oktober 2003 (lihat Annex 1).
Melalui keputusannya tersebut ITLOS juga tampak berupaya memperkuat penegakan mandat Pasal 194 ayat 1 yang secara tegas mengatur bahwa negara-negara harus menghormati lingkungan laut negara lain dan mengemban kewajiban untuk mengambil seluruh upaya yang diperlukan guna mencegah, mengurangi dan mengawasi polusi lingkungan laut dari sumber apapun, dengan menerapkan praktek cara-cara terbaik (the best practicable means) sesuai dengan kemampuannya.
Perkembangan menonjol lainnya sehubungan dengan mandat UNCLOS di bidang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah berkenaan dengan aspek kerjasama global dan regional. Dalam kaitan ini, keputusan provisional measures ITLOS tanggal 8 Oktober 2003 atas sengketa reklamasi Malaysia versus Singapura, juga telah memperkuat dan menegaskan kembali mengenai pentingnya elemen kerjasama antara negara termasuk kerjasama bilateral guna menjamin perlindungan dan pelestarian lingkungan laut khususnya melalui pencegahan polusi terhadap lingkungan laut.
1.2 Permasalahan
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa pokok permasalahan diantaranya;
1. Bagaimanakah bentuk pengaturan pelestariaan lingkungan laut dalam konvensi hukum laut PBB (UNCLOS 1982) ?
2. Hal-hal apakah yang diatur dalam pelestariaan lingkungan laut berdasarkan konvensi hokum laut PBB (UNCLOS 1982) ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pencemaran Lingkungan Laut
Pengertian lingkungan laut ( marine environment) di dapat dari Agenda 21 yang merupakan salah satu dokumen penting hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992 yang memberikan yaitu bahwa lingkungan laut termasuk samudera, semua laut, dan kawasan pantai membentuk satu kesatuan komponen penting sistem yang mendukung kehidupan global dan kekayaan yang memberikan kesempatan untuk melakukan pembangunan berkelanjutan.
Pengertian lingkungan laut (marine environment) tidak terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, tetapi pengertian pencemaran lingkungan laut (pollution of the marine environment) sendiri ada, yaitu sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 Konvensi, yang berbunyi sebagai berikut: “bahwa pencemaran lingkungan laut berarti dimasukannya oleh manusia secara langsung atau tidak langsung bahan atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk kuala yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hati dan kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan mengurangi kenyamanan”
Konvensi Hukum Laut 1982 secara lengkap mengatur perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection and preservation of the marine environment) yang terdapat dalam Pasal 192-237. Pasal 192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan prinsip penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut, yaitu prinsip yang berbunyi : bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Oleh karena itu, Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan upaya-upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari setiap sumber pencemaran, seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982.
2.2 Kerja Sama Regional Dan Internasional (Global And Regional Co-Operation)
Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut tersebut, setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global. Keharusan untuk melakukan kerja sama regional dan global (global and regional co-operation) diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi : “Negara-negara harus bekerja sama secara global dan regional secara langsung atau melalui organisasi internasional dalam merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan standard internasional serta prosedur dan praktik yang disarankan sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan laut dengan memperhatikan keadaan regional tersebut”.
Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the Area), pencemaran dari dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the atmosphere).
Konvensi Hukum Laut 1982 menunjuk aturan hukum internasional lainnya tentang pencemaran laut tersebut karena pengaturan tentang persoalan pencemaran laut dan aspek-aspek hukum terkait lainnya telah dikembangkan dengan baik oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO) yang bermarkas di London. IMO telah mengeluarkan beberapa perjanjian internasional mengenai pencemaran laut dan terus diamandemen sesuai dengan perkembangan di lapangan. Beberapa aturan hukum internasional tentang pencemaran laut yang telah dibuat tersebut adalah antara lain sebagai berikut :
1. International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil, 1954 (OILPOL) 1958;
2. International Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution Casualties, 1969 (INTERVENTION) 1975;
3. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and other Matter, 1972 (LDC) 1975;
4. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 as modified by the Protocol of 1978 (MARPOL) 73/78) 1983; ada 6 Annexes;
5. International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC), 1990;
Beberapa contoh kerja sama regional yang telah dilakukan oleh Negara-negara yang tergabung dalam kawasan regional sebagai upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah sebagai berikut :
1. Convention on the Protection of the Marine Environment of the Baltic Sea Area, 1974, due to be replaced by the 1992 Convention of the same name or 1992 Baltic Conventions. The Baltic Conventions themselves contain detailed obligations and therefore do not have supplementary protocols;
2. Convention for the Protection of the Mediterranean Sea against Pollution 1976 (Barcelona Convention), amended in 1995, together with its protocols on dumping (1976), co- operation in emergencies (1976), land-based sources (1980), specially protected areas (1982 and 1995), sea-bed activities (1994), and transboundary movement of hazardous waste (1996);
3. Arabian/Persian Gulf and Gulf of Oman : Kuwait Regional Convention for Co-operation on the Protection of the Marine Environment from Pollution 1978 (Kuwait Convention);
4. Convention for Co-operation in the Protection and Development of the Marine and Coastal Environment of the West and Central African Region 1981 (the West African Convention);
5. Convention for the Protection of the Marine Environment and Coastal Area of the South- East Pacific (the South-East Pacific Convention), together with its agreement and supplementary protocol on co-operation in emergencies (1981 and 1983) and protocols.
6. Dan masih banyak yang lainnya
2.3 Bantuan Teknis
Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan keberhasilan perjuangan Negara-negara berkembang karena dalam Konvensi tersebut diatur perlunya Negara berkembang mendapat bantuan dari negara-negara maju, yaitu bantuan teknis dalam kerangka perlindungan dan pelestarian lingkungan laut sebagaimana diatur oleh Pasal 202-203 Konvensi. Bantuan teknis tersebut paling tidak mencakup pelatihan tenaga teknis dan ilmiah, partisipasi dalam program-program internasional, peralatan, riset, monitoring, pendidikan, penanggulangan pencemaran laut, dan perbaikan lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuan pencegahan, pengurangan, dan pengendalian lingkungan laut, Negara- negara berkembang harus diberikan perlakuan khusus oleh organisasi-organisasi internasional dalam alokasi dana dan bantuan teknis serta pemanfaatannya.
2.4 Penegakan Hukum Dan Pengamanan
Pembuatan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup yang diwajibkan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut harus diikuti dengan penegakan hukum (law enforcement), yaitu penegakan hukum bagi pelaku pencemaran yang berasal dari darat, pencemaran dari kegiatan di dasar laut, pencemaran dari kegiatan di Kawasan, pencemaran yang disebabkan oleh dumping. Pengertian dumping sendiri sudah diatur oleh Pasal 1 huruf (5) Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu yang dimaksud dumping. Dumping adalah setiap pembuangan dengan sengaja limbah atau benda lainnya dari kapal, pesawat udara, platforms atau bangunan lainnya di laut, atau setiap pembuangan sengaja kapal, pesawat udara, platforms, atau bangunan lainnya di laut. Dumping tidak termasuk pembuangan limbah atau lainnya yang berasal dari operasi normal atau penempatan benda untuk suatu tujuan tertentu yang bukan pembuangan benda tersebut. Dumping telah diatur lebih lengkap lagi oleh Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and other Matter tahun 1972 atau disering disebut London Dumping Convention (LDC) 1972.
Penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran lingkungan laut yang berasal berbagai sumber pencemaran tersebut harus dilakukan oleh Negara-negara bendera (flags States), Negara pelabuhan (port States), dan Negara pantai (coastal States) sebagaimana diatur oleh Pasal 213-220 Konvensi Hukum Laut 1982. Penegakan hukum oleh Negara bendera adalah antara lain bahwa Negara bendera harus terdaftar di negaranya dengan mematuhi standard dan aturan internasional yang berlaku, memenuhi kelaikan berlayar, tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional, memberikan sanksi kepada awak kapal yang melanggar aturan pelayaran terutama tidak melakukan tindakan yang menyebabkan terjadinya pencemaran laut. Penegakan hukum oleh Negara pelabuhan adalah antara lain bahwa Negara pelabuhan harus memeriksa kelaikan kapal yang berlabuh di pelabuhannya itu termasuk juga harus menilai bahwa apakah kapal yang berlabuh itu telah melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran laut atau tidak. Kalau terbukti kapal yang berlabuh itu telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran laut, maka Negara pelabuhan harus memberikan sanksi sesuai dengan aturan hukum nasionalnya dan hukum internasional.
Penegakan hukum oleh Negara pantai adalah proses pengadilan bagi setiap pelaku pelanggaran peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencemaran lingkungan laut baik pencemaran laut yang terjadi di laut teritorial atau di zona ekonomi eksklusif. Proses penuntutan tersebut termasuk penahanan kapalnya Negara pantai harus mempunyai peraturan perundang-undangan yang dapat memaksa kapal yang berlayar di laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif mematuhinya. Penegakan hukum oleh Negara pelabuhan, bendera, atau Negara pantai harus diikuti dengan tindakan pengamanan (safeguard) sebagaimana diatur oleh Pasal 223-233 Konvensi Hukum Laut 1982. Pengamanan tersebut berupa fasilitas proses penuntutan seperti pengadilan yang berwenang, perlengkapan armada penangkapan kapal asing yang diduga melakukan pelanggaran seperti kapal perang/militer dengan sumber daya manusianya. Dalam pelaksanaan pengamanan ini tersebut tidak boleh mengganggu keselamatan pelayaran (safety of navigation).
Apabila ada kapal asing yang diduga telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan tentang pencemaran laut, maka setiap Negara dapat melakukan investigasi pada kapal asing tersebut berupa pemeriksaan dokumen-dokumennya. Kapal yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran tersebut harus segera dilepaskan setelah ada jaminan uang yang wajar. Pelaksanaan pengamanan itu tidak boleh diskriminasi, sanksinya berupa denda uang, penghormatan terhadap hak-hak terdakwa, memberi tahu kepada Negara benderanya, pengamanan bagi selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, tetapi akan timbul tanggung jawab apabila ada kerugian dari pelaksanaan tindakan pengamanan tersebut.
2.5 Ketentuan Tentang Kekebalan
Ketentuan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dalam Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut tidak berlaku bagi kapal perang (warship), kapal bantuan (naval auxiliary), kapal atau pesawat udara lainnya yang dioperasikan Negara untuk kepentingan pemerintah yang bukan komersial, tetapi operasi tersebut harus sesuai dengan Konvensi sebagaimana diatur oleh Pasal 236-237. Pasal 237 Konvensi menyatakan bahwa kekebalan tersebut tidak boleh merugikan kewajiban khusus yang lahir dari perjanjian tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang harus dilaksananan sesuai dengan prinsip-prinsip umum dan tujuan Konvensi Hukum Laut 1982.
2.6 Tanggung Jawab Dan Kewajiban Ganti Rugi (Responsibility And Liability)
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional.
Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang (natural person) atau badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya. Oleh karena itu, setiap Negara harus bekerja sama dalam mengimplementasikan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi.
Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab Negara (state sovereignty) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban internasional tersebut seperti tidak melaksanakan ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya. Tanggung jawab Negara dan kewajiban untuk memberikan ganti ruginya sering terjadi dalam kasus-kasus pencemaran laut, seperti dalam kasus Torrey Canyon 1967, Showa Maru 1975, Amoco Cadiz 1978, Exxon Valdez 1989, Mox Plant 2001, Prestige 2002, tetapi belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur tanggung jawab Negara dalam hukum internasional. Selama ini persoalan tanggung jawab Negara mengacu pada Draft Articles on Responsibility of States for International Wrongful Acts yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) Majelis Umum PBB. Draft Articles yang terakhir adalah Draft Articles tahun 2001, tetapi sebenarnya tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi itu sudah tersebar dalam beberapa perjanjian internasional yang dibuat badan-badan khusus PBB maupun IMO.
IMO banyak mengeluarkan beberapa perjanjian internasional tentang tanggung jawab negara, tanggung jawab sipil, ganti rugi, atau kompensasi seperti yang terdapat dalam beberapa perjanjian berikut ini :
1. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 1969 (CLC) 1976, 1984.
2. Convention Relating to Civil Liability in the Field of Maritime Carriage of Nuclear Material, 1971 (NUCLEAR) 1975.
3. International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage, 1971 (FUND) 1978. 72
4. Athens Convention Relating to the Carriage of Passangers and their Luggage by Sea, 1974 (PAL) 1987.
5. Convention on Limitation of Liability for Maritime Claims, 1976 (LLMC) 1986.
Pada umumnya status tanggung jawab dikenal dua sifat, yaitu tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), dan tanggung jawab langsung dan seketika (strict liability).
2.7 Hak Dan Kewajiban Indonesia Serta Status Saat Ini
Indonesia sebagai Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :
1. Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu proses pengadilannya
2. Kewajiban melakukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut, yang berarti Indonesia mempunyai peralatan dan sumber daya manusia yang memadai;
3. kewajiban melakukan kerja sama regional dan global, kalau kerja sama regional berarti kerja sama ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kerja sama global berarti dengan negara lain yang melibatkan negara-negara di luar ASEAN karena sekarang persoalan pencemaran lingkungan laut adalah persoalan global, sehingga penanganannya harus global juga.
4. Indonesia harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian dari contingency plan;
5. Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat terjadinya pencemaran laut.
BAB III
PENUTUP
Sebagai negara yang menandatangani dan kemudian telah meratifikasinya menjadi bagian dari tataran hukum nasionalnya, maka Indonesia tentunya harus taat azas dengan berbagai ketentuan hukum laut internasional dari UNCLOS 1982, termasuk tentang hak dan kewajiban. Kajian ini telah berhasil menemukenali banyak hal tentang hak dan kewajiban, baik yang sudah kita kerjakan hingga saat ini atau yang perlu kita lakukan kemudian. Namun demikian perlu diketahui bahwa apa yang telah diidentifikasi dalam kajian ini masih akan terus berkembang, seiring dengan dinamika perkembangan dunia.
Termasuk juga dalam hal pelestariaan lingkungan laut, Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi UNCLOS, tentunya akan mengikuti semua ketentuan yang berkaitan dengan pelestariaan lingkungan laut yang telah ditetapkan dalam UNCLOS. Ini merupakan salah satu wujud bentuk dari tanggung jawab bangsa Indonesia setelah meratifikasi perjanjian tersebut. Maka hal-hal yang berkaitan dengan pelestaraiaan lingkungan laut berdasarkan ketentuan yang ada dalam UNCLOS wajib dilaksnakan oleh bangsa Indonesia begitu juga dengan Negara-negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut.
Dalam pasal 192-237 UNCLOS telah terdapat berbagai kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh setiap Negara yang tergabung dalam perjanjian tersbut, tentunya pasal-pasal tersebut berkaitan dengan pserlindungan terhadap kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan laut. Jadi sudah jelas di sini bahwa dalam UNCLOS sudah terdapat aturan yang jelas mengenai pelestarian terhadap lingkungan laut yang harus ditaati oleh setiap Negara yang telah meratifikasi perjanjian UNCLOS tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Starke. J .G. pengantar hukum internasional edisi kesepuluh. 2004. Cetakan VII. Jakarta; Sinar grafika offset
laporan akhir. evaluasi kebijakan dalam rangka implementasi hukum laut internasional (unclos 1982)di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia Tahun Anggaran 2008.
Bab 4. Perkembangan Penanganan Mandat Unclos Di Bidang Perlindungan Dan Pelestarian Lingkungan Laut Serta Keterkaitannya Dengan Reklamasi. //http.www.google.com
United Nations Convention On The Law Of The Sea(Bahasa Inggris dan Indonesia).//http.www.google.com
Langganan:
Postingan (Atom)